Bersyukur dengan Melihat ke Bawah

Diposting oleh Unknown on Sabtu, 05 Maret 2011


Nabi Muhammad SAW bersabda: undzuruu ilaa man huwa asfala minkum, walaa tandzuruu ilaa man huwa fauqokum – lihatlah kepada yang lebih rendah dari kamu sekalian, dan jangan melihat kepada yang lebih atas dari kamu sekalian.

Inilah cara syukur yang paling sulit: Hatwah, kependekan dari “melihatlah ke bawah”. Jangan melihat dan membandingkan dengan orang yang di atas dalam hal dunia.

Sering mendengar kalimat-kalimat seperti berikut dibawah ini?
• “Tetangga sebelah sudah renovasi rumah, sedangkan kita? Atap bocor pun belum ditambal-tambal”.
• “Teman Bapak mobilnya sudah Mercy, sedangkan Bapak? Baru Kijang. Sudah belinya kredit, second-hand pula”
• “Teman Ibu resepsi anaknya di hotel berbintang 5, sedangkan aku? Selamatannya saja numpang sekalian di kantor KUA”

Itulah kalimat-kalimat yang sering terdengar, yang tanpa sadar melanggar perintah Nabi tersebut diatas.

Pada saat membandingkan dengan yang lebih atas, kemudian mengatakan seperti contoh diatas, atau kata/kalimat sebangsanya, maka saat itu pula kesyukuran atas nikmat Alloh hilang, alias kufur.

Bagaimana seharusnya? Simak yang dibawah ini:
• “Alhamdulillaaah, kita sudah punya rumah walaupun atapnya bocor, sementara yang lain banyak yang masih numpang di rumah mertogu”
• “Alhamdulillaaah, Bapak sudah punya Kijang walaupun second-hand, sementara banyak yang lain masih turun-naik Mercy, tapi Mercy bus kota”
• “Alhamdulillaaah, aku bisa menyempurnakan keimanan mujhid-muzhid numpang selamatan sekalian di kantor KUA, sementara yang lain mampunya hanya sholat istikhoroooh terus”.
Pada kondisi yang persis sama, sangat berbeda sekali hasil dari “melihat ke atas” – Hattas dengan “melihat ke bawah” – Hatwah, bukan? Itulah salah-satu hadits yang sangat hebat, tentang bagaimana cara memandang suatu keadaan. Yang satu membawa kufur, sedangkan yang lain membawa syukur.

Ingin keimanan terpatri dengan kuat? Jadilah ahli syukur dengan mengamalkan Kurman-Kurcil-Hatwah.

Hare gene masih menyepelekan “serendah” apapun manusia? Masih menyepelekan “sekecil” apapun nikmat? Padahal semua datang dari Alloh? Hare gene masih keukeuh saja melihat ke atas? Padahal Nabi melarangnya?

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar